top of page
Search

Di Antara Laut dan Langit: Tiga Hari Menyusuri Pantai-Pantai Makassar

  • Jimmy Kembaren
  • 22 hours ago
  • 3 min read

Saya mendarat di Makassar dengan satu tujuan: mencari jeda dari hiruk-pikuk kota dan membiarkan diri larut dalam pelukan laut. Ada sesuatu yang istimewa tentang kota ini—perpaduan antara semangat urban yang dinamis dan ketenangan bahari yang membius. Dan semua itu bermula dari satu garis pantai: Pantai Losari.



Hari pertama saya dimulai dengan langkah-langkah pelan di sepanjang anjungan Pantai Losari. Saat itu belum terlalu ramai, hanya beberapa penjaja pisang epe yang mulai menyalakan bara. Udara laut menyapu wajah saya dengan lembut, membawa aroma asin yang saya rindukan. Saya memilih duduk di bangku beton sambil menatap laut yang membentang diam, seperti sedang menahan napas. Dari kejauhan, Masjid 99 Kubah tampak seperti kapal besar yang sedang berlayar perlahan—megah dan anggun.


Menjelang sore, warna langit mulai berubah. Saya memesan pisang epe dengan saus gula merah yang meleleh, lalu menyantapnya perlahan. Matahari perlahan turun, dan kerumunan mulai berkumpul. Ada anak-anak yang bermain skateboard, pasangan muda yang berfoto, hingga pelancong seperti saya yang hanya ingin diam. Senja di Losari bukan sekadar momen, tapi semacam ritus. Seolah setiap orang yang datang ke sini sedang mengucap syukur dalam diam, bahwa mereka diberi kesempatan melihat dunia dalam warna emas yang begitu sempurna.


Keesokan harinya, saya memutuskan untuk pergi sedikit lebih jauh ke Pantai Akkarena. Pagi itu saya naik taksi daring dan hanya butuh sekitar 20 menit dari pusat kota. Pantai ini terasa lebih sepi, lebih pribadi. Saya menyewa kursi santai di bawah payung jerami dan membiarkan kaki saya menyentuh pasir hitamnya yang hangat. Suara laut terdengar lebih intim di sini, seperti bisikan yang hanya bisa saya mengerti sendiri.


Saya sempat menyusuri dermaga kayu panjang yang menjorok ke laut. Di ujungnya, saya duduk dan membiarkan angin memainkan rambut saya. Lautan luas di hadapan saya membuat segalanya terasa kecil, termasuk beban-beban yang sempat saya bawa dari kehidupan sehari-hari. Saya sempat menulis di jurnal perjalanan saya: “Di tempat seperti ini, manusia tidak dituntut untuk hebat. Hanya cukup hadir dan merasa.”


Menjelang siang, saya mencicipi seafood di kafe pinggir pantai. Ikan bakar rica-rica dan es kelapa muda jadi santapan siang yang tak terlupakan. Seorang pelayan yang ramah bercerita bahwa Pantai Akkarena sering jadi lokasi favorit keluarga di akhir pekan, tapi di hari kerja seperti ini, tempat ini jadi surga kecil bagi yang butuh ruang untuk bernapas.


Hari ketiga, saya merasa ingin keluar dari kota dan mencari tempat yang lebih alami. Rekomendasi dari sopir taksi membawa saya ke Pantai Kuri Indah—pantai yang belum banyak dikunjungi wisatawan luar. Jalurnya cukup memutar dan sempat membuat saya ragu, tapi ketika saya tiba, semuanya terasa sepadan. Pantai ini dikelilingi hutan mangrove dan desa kecil yang tenang. Tidak ada kafe atau kursi santai. Hanya saya, pasir putih, dan air laut yang jernih kehijauan.


Saya melepas sandal dan berjalan menyusuri pantai tanpa tujuan. Burung-burung kecil beterbangan rendah, dan di beberapa sudut, saya melihat nelayan setempat sedang memperbaiki jala. Saya tersenyum pada mereka, dan mereka membalas dengan anggukan ramah. Tidak banyak kata, tapi cukup untuk membuat saya merasa diterima.


Saya duduk di bawah pohon rindang, membuka buku, dan membaca beberapa halaman sambil sesekali mengangkat kepala melihat ke laut. Waktu seperti berhenti. Tidak ada notifikasi, tidak ada deadline. Hanya suara debur ombak yang berulang, seperti mantra yang menenangkan.


Di malam terakhir saya di Makassar, saya kembali ke Losari—kali ini bukan untuk mencari senja, tapi untuk melihat pantai di bawah cahaya malam. Saya berjalan perlahan sambil membawa kopi dari warung kecil, dan duduk di tempat yang sama seperti hari pertama. Rasanya seperti menutup lingkaran. Laut malam itu tenang, hampir tak bergelombang, dan saya merasa telah menyatu dengan ritme kota ini: sederhana, hangat, dan penuh cerita.

 
 
 

Comments


Commenting on this post isn't available anymore. Contact the site owner for more info.
bottom of page